THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 01 Januari 2012

Kearifan Lokal suku Nias

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila kita mengikuti sejarah perkembangan bangsa Indonesia maka yang harus diangkat adalah kemajemukannya. Yaitu, keberagaman suku bangsa yang ada, dimana dinamika masyarakat dan kebudayaannya yang memiliki konsepsi-konsepsi khusus mengenai konsep suku bangsa di suatu daerah kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut ada yang dikatakan sebuah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktivitas masyarakat setempat. Dalam makalah ini suku bangsa Nias adalah topik yang ingin kami kaji lebih lanjut mengenai kearifan lokal yang ada, dan juga mengenai etika lingkungan suku bangsa Nias.

Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.

Dalam kearifan lokal terdapat beberapa karakter yang mendefinisikan kebudayaan suku bangsa Nias. Yang diantaranya: etika, kesehatan, sosial kemasyarakatan, kelestarian lingkungan, kondisi alam, dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah

1. Bagaimana hakikat kearifan lokal nias.

2. Bagaimanakah penerapan kearifan lokal nias.

C. Sistematika Penulisan

Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah serta tujuan penulisan dari makalah kearifan lokal nias.

Bab II Kajian Teori

Pada bagian ini dikemukaan teori-teori yang berkaitan tentang kearifan lokal nias.

BAB III Pembahasan

Pada bab ini penulis mencoba menganalis teori tentang kearifan lokal nias.

BAB IV Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran penulis dari makalah ini.

Daftar Pustaka

Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai sumber yang penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut

1. Pembaca dapat mengetahui seluk beluk hakikat serta penerapan hubungan antara kearifan lokal nias dengan etika lingkungan.

2. Pembaca dapat mengambil manfaat arti pentingnya nilai-nilai kearifan lokal nias dengan etika lingkungan.

3. Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti perkuliahan.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kearifan Lokal

Kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna. Dengan kearifan lokal, manusia senantiasa:

1. Mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari sebelumnya,

2. Menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya,

3. Menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Manusia pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa mengembangkan ilmu yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat kearifan lokal, manusia:
1. Menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu ,
2. Dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan,
3. Menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman,

B. Definisi

Ruang lingkup kearifan lokal masyarakat Nias terdapat pada beberapa aspek. Yaitu, Local Wisdom ( kebijakan lokal), Local Knowledge (pengetahuan setempat), dan Lokal Genius (kecerdasan setempat).

Local Wisdom yang berarti kebijakan lokal adalah sebuah ruang lingkup yang berlandaskan kebijakan, kebijakan dapat diartikan kemahiran akan konsep dan azaz yang menjadi garis besar dan dasar rencanadalan pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam dalam pernyataan cita-cita,tujuan, prinsip, atau maksud dari garis pedoman untuk management dalam usaha mencapai sasaran. Dengan kata lain kebijakan lokal adalah rangkaian konsep dan azaz yang menjadi garis besar rencana atau aktivitas masyarakat setempat.

Local Knowledge yang berarti pengetahuan setempat adalah ruang lingkup yang berlandaskan pengetahuan, pengetahuan dapat diartikan sebagai sesuatu yang diketahui dan berkenaan dengan hal kehidupan manusia dalam masyarakat setempat.

Lokal Genius yang berarti kecerdasan setempat adalah ruang lingkup kecerdasan, kecerdasan dapat diartikan kesempurnaan perkembangan akal budi, kecerdasan yang berkenaan dengan hatidan kepedulian antar sesama manusia, mahluk alam, dan Tuhan dalam aktivitas masyarakat saetempat.

C. Kaidah-Kaidah

Kebijakan umum, adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok , dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada prinsipnya yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Dalam penekanannya aspek kebijakan umum ( kearifan lokal), menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai tujuan bersama. Cita-cita bersama ini ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat, yang dituangka dalam kebijakan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini pemerintah / tokoh adat setempat. Berikut ini definisi :

Hoogerwerf: objek politik adalah kebijakan pemerintah proses terbentuknya, serta sebab akibatnya. Ialah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Hakikat Kearifan lokal NIAS

Berbicara kearifan lokal dalam perspektif kini menjadi suatu hal yang sulit ketika kita tidak mengenal apa, Siapa, Bagaimana, Mengapa, dan dimana itu kearifan lokal. Seorang pelaku atau kelompok politik pun bertanya-tanya. Kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Dimana kearifan lokal tersebut memiliki karakter yang diturun-temurunkan melalui budaya setempat. Yang diantaranya, etika sebagai bagian dari kearifan lokal adalah ilmu tentang apa yang baik dan burukdan tentang hak dan kewajiban (ahklak), kesehatan atau pengobatan adalah cara atau proses penyembuhan , sosial kemasyarakatan, mata pencaharian, kelestarian lingkungan, bencana alam, dan lain-lain.

1. Sejarah Perkembangan Masyarakat Nias

Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.

Gambar 1

Kearifan lokal, Nias


Sumber: google.com


Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

2. Demografi

Gambar 2

Pulau Nias, Sumatera Utara

Sumber: google.com

Masyarakat Nias memiliki populasi kurang lebih setengah juta jiwa ini memiliki mayoritas kristen protestan, rata-rata pendidikan SMP dan SMA, mata pencaharian sebagai petani dan nelayan, dan bencana alam gunung merapi yaitu gunung Sitoli.

3. Sistem Sosial / Kebijakan Kemasyarakatan

Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.

Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :

1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;


2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;

3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;

4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;


5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.

4. Bentuk Kearifan Lokal

Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.

1. Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat tinggi, dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.

Gambar 3

Hombo Batu, Nias

Sumber: google.com

Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.

2. Maena(Tari).

Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.

Gambar 4

Maena, Nias

Sumber: google.com

Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971, menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja. Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus berkembang.


3. Omo Hada (Rumah Adat )

Gambar 5

Omo Hada, Nias


Sumber: google.com

Dulu omo hada (rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik pertemuan.

5. Bahasa

Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).

B. Penerapan Kearifan Lokal

Marilah kita lihat bagaimana kedudukan kearifan lokal dalam perkembangan kultur lokal pada masa kini. Sejarah perkembangan kearifan lokal telah menorehkan catatan penting bahwa kebijakan berperan penting dalam membangun kemasyarakatan. Oleh karenanya kearifan lokal sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh segenap bangsa dan negara baik seseorang maupun kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian maka akan berlangsungnya penerapan atau pempraktikan kearifan lokal akan berjalan dengan baik.

Masyarakat Nias sebagian besar masih memegang teguh kearifan lokal seperti contoh di atas mereka masih menjalankan budaya leluhur dengan tetap melaksanakan kaidah yang telah di terapkan semenjak dahulu tanpa melakukan adanya perubahan.

Namun demikian, demi kelanjutan cita-cita negara Republik Indonesia yang bersatu, demokratis, bebas, adil, dan mengakui Hak azazi dan hak sosiokultural setiap individu maupun kelompok, maka upaya penerapan Kearifan lokal ini seyogyanya dilaksanakan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Dalam masyarakat multikultural, kearifan lokal kiranya berperan penting dalam melestarikan kebudayaan daerah.

Nias adalah salah satu suku bangsa yang masih memegang teguh kearifan lokal sekaligus berperan penting dalam memberi arah yang mampu memfungsikan diri sebagai suku yang memiliki prinsip kebijakan dalam pemenuhan sistem kemasyarakatan. Baik agama, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, bahasa , dan komunikasi.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa kearifan lokal sangat mendukung perkembangan budaya. Karena tanpa dukungan kearifan lokal perkembangan kebijakan tidak mungkin sampai pada tujuannya yaitu mensejahterakan kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Karena dengan kearifan lokal manusia dituntun untuk mengembangkan kebijakan secara bijak dan baik. Jika kearifan lokal yang dikembangkan tidak didasarkan pada ilmiah maka yang terjadi banyak kebijakan sulit untuk diterima dari rasional manusia, dan malah akan menjerumuskan manusia. Sehingga perkembangan dan penerapan kearifan lokal tidak boleh berjalan sendiri-sendiri melainkan harus saling berkoordinasi.

Secara ontologi, hakikat antara kearifan lokal dengan kaidah kebijakan bahwa kearifan lokal sebagai kendali dari penggunaan kebijakan agar budaya tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam penerapannya kearifan lokal harus berlandaskan kebijakan bersama di suatu daerah. Setiap daerah di indonesia memiliki kearifan lokal yang berbeda, seperti kearifan lokal di pulau nias. Kita sebagai generasi penerus seharusnya bangga memiliki kearifan lokal daerah yang beragam, bukan cenderung melupakan kearifan lokal yang saat ini di anggap sebagai hal yang kuno atau tidak penting.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Citra

Amri Marzali, 2009. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana

Miriam Budiarjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

2011, ( http://id.wikipedia.org/wiki/Nias. Diakses tanggal 15 oktober 2011 jam 18:00)

Myspace Layouts & online now icons

0 komentar: